Pelaksanaan Putusan Pengadilan


Pelaksanaan putusan pengadilan adalah realisasi dari apa yang merupakan kewajiban dari pihak yang dikalahkan untuk memenuhi suatu prestasi , yang merupakan hak dari pihak yang dimenangkan, sebagaimana tercantum dalam putusan pengadilan. 

Pelaksanaan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap harus dilaksanakan suka rela oleh pihak yang dihukum (dikalahkan), jika tidak dilaksanakan maka akan dilakukan secara paksa oleh panitera dan juru sita dipimpin oleh Ketua Pengadilan Negeri (Pasal 60 dan Pasal 65 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986, Pasal 195 ayat (1) HIR/Pasal 206 ayat (1) RBg) 

Macam-macam pelaksanaan putusan :
  1. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk membayar sejumlah uang, diatur dalam Pasal 197 HIR/Pasal 208 RBg, yaitu dengan cara melakukan penjualan lelang terhadap barang-barang milik pihak yang kalah perkara, sampai mencukupi jumlah uang yang harus dibayar menurut putusan pengadilan yang dilaksanakan, ditambah biaya yang dikeluarkan guna pelaksanaan putusan tersebut.
  2. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk melakukan suatu perbuatan, pelaksanaan putusan ini diatur pada Pasal 225 HIR/Pasal 259 RBg, yang menentukan bahwa apabila seseorang yang dihukum untuk melakukan suatu perbuatan, tidak melakukan perbuatan itu dalam tenggang waktu yang ditentukan, pihak yang dimenangkan dalam putusan itu dapat meminta kepada Ketua Pengadilan Negeri agar perbuatan yang sedianya dilakukan/dilaksanakan oleh pihak yang kalah perkara itu dinilai dengan sejumlah uang.
  3. Pelaksanaan putusan yang menghukum seseorang untuk mengosongkan barang tetap. Pelaksanaan putusan ini sering disebut dengan istilah eksekusi riil. Eksekusi riil ini tidak diatur dalam HIR maupun RBg tetapi banyak dilakukan dalam praktek.
Penyandraan

Penyandraan (gijzeling) adalah memasukan kedalam penjara orang yang telah dihukum oleh putusan pengadilan untuk membayar sejumlah uang, tetapi tidak melaksanakan putusan tersebut dan tidak ada atau tidak cukup mempunyai barang yang dapat disita eksekusi. 

Penyanderaan dalam perkara perdata ini diatur dalam Pasal 209 s/d Pasal 224 HIR/Pasal 242 s/d Pasal 257 RBg. 

Karena penyanderaan itu dirasa tidak adil maka Mahkamah Agung dengan Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 mengintruksikan kepada semua Ketua Pengadilan Tinggi dan Pengadilan Negeri seluruh Indonesia untuk tidak mempergunakan lagi peraturan-peraturan mengenai sandera (gijzeling). Kemudian dengan Surat Edaran Nomor 04 Tahun 1975 tanggal 1 Desember 1975 Mahkamah Agung menegaskan kembali isi Surat Edaran Nomor 2 Tahun 1964 tanggal 22 Januari 1964 untuk tidak menggunakan lembaga gijzeling, mengingat Pasal 33 Undang-Undang Pokok Kekuasaan Kehakiman yang menghendaki pelaksanaan putusan dengan tidak meninggalkan peri kemanusiaan. 

Namun dengan pertimbangan sebagai mana diungkapkan Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia mengemukakan : 

“Didalam praktek tidak jarang terjadi, debitur yang dikalahkan atau akan dikalahkan dalam perkara dipengadilan, jauh sebelumnya telah mengalihkan harta kekayaannya kepada saudaranya atau orang lain dengan maksud untuk menghindarkan harta kekayaan tersebut dari penyitaan. Dengan demikian, si dibetur tampaknya sebagai orang yang miskin, tetapi sesungguhnya tidak. Mengigat hal semacam ini lembaga sandera kiranya masih perlu dipertahankan, namun penerapannya harus hati-hati.”

Sejalan dengan pikiran Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H. tersebut Mahkamah Agung kemudian mengeluarkan Peraturan Nomor 1 Tahun 2000 tentang Lembaga Paksa Badan tanggal 30 Juni 2000 yang mencabut Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 2 Tahun 1964 dan Nomor 04 Tahun 1975. Berdasarkan Peraturan Mahkamah Agung Nomor 1 Tahun 2000 ini, debitur (dan ahli waris yang telah menerima warisan dari debitur), menanggung, atau penjamin hutang yang mampu, tetapi tidak mau memenuhi kewajibannya untuk membayar hutang-hutangnya (minimal Rp. 1.000.000.000,00 (satu miliar rupiah)) dapat dikenakan paksa badan.


Prof. Dr. Sudikno Mertokusumo, S.H., op.cit., hal.186. 
________________________________ 
Sumber: H. Riduan Syahrani, S.H., Buku Materi Dasar Hukum Acara Perdata, PT. Citra Aditya Bakti Bandung, Cet. V, 2009

1 Komentar

Komentar anda kami tunggu agar kami dapat memberikan edukasi dalam pengembangan hukum saat ini.

Lebih baru Lebih lama

Formulir Kontak